KABARSUKABUMI.com - Wacana Pemerintah pusat beberapa bulan lalu untuk menghapus pegawai honorer di lingkungan kerja pemerintah termasuk guru honorer menjadi perdebatan. Respons penolakan pun terjadi di berbagai wilayah salah satunya sukabumi.

Dalam perjalanannya, Pemerintah pusat menawarkan tiga skema. Pertama, bagi honorer yang masih berusia di bawah 35 tahun bisa mengikuti ujian seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Kedua, bagi yang sudah melewati usia 35 tahun bisa ikut ujian pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

Ketiga, bagi honorer yang tidak lolos untuk seleksi CPNS atau PPPK, mereka diberi kesempatan bekerja dengan syarat sepanjang mereka masih dibutuhkan oleh pemerintah daerah, dengan gaji sesuai dengan upah minimum regional (UMR) daerah.

Lantas apakah tiga skema penghapusan honorer serta merta menjamin terpenuhinya kebutuhan kekurangan guru yang selama ini menjadi persoalan krusial? Akhir 2019 lalu, kekurangan guru di kabupaten sukabumi tercatat sekitar 6.200 orang.

Kekurangan terbanyak terjadi di jenjang SD sebanyak 4.684 orang. Untuk jenjang SMP 1.484 orang sedangkan untuk tingkat SMA/SMK relatif lebih sedikit. Sementara ini, guru honorer merupakan solusi pemenuhan kekurangan guru tersebut.

Untuk mengatasi hal ini, Marwan Hamami selaku Bupati Sukabumi yang menjabat pada saat itu sudah melayangkan surat permohonan bagi GTHKNK 35+ (Guru dan Ketenaga Pendidikan Non Kategori) yang ditujukan pada pemerintah pusat dalam hal ini presiden Republik Indonesia, tanggal 17 juni 2020 lalu. 

Dalam suratnya, Marwan meminta presiden untuk mengangkat 6.168 orang guru honorer tersebut menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Menurut Marwan hal ini ia lakukan sebagai bentuk kepedulian nya pada bidang pendidikan hususnya tenaga pengajar yang ada di sukabumi. 

"Kami sudah berupaya penuh untuk memenuhi hak guru honorer agar mendapat penghasilan yang layak, berbagai upaya pun sudah kami lakukan tentunya disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat," jelas Marwan.

(Demy)